Mari bergabung dengan kami di Deposit Monopoly

Mari bergabung dengan kami di Deposit Monopoly
Deposit minimal 20.000 dan withdraw minimal 50.000

Salak Condet Sajian Wajib Bagi President.

Kawasan Condet semakin padat. Pemukiman penduduk menjamur, beradu cepat dengan pembangunan gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan. Pohon-pohon rindang dan kebun-kebun warga sudah jarang ditemukan. Beruntung masih ada kebun Salak yang berada di bantaran kali Ciliwung. Buah khas yang selalu diingat warga Jakarta setiap kali nama Condet disebut.

Iwan Setiawan, tokoh masyarakat di daerah Balekambang Condet, menuturkan, secara turun-temurun warga Condet melestarikan kebun Salak, dukuh dan melinjo. Buah bernama latin Salacca Edulis Cognita (Salak) ini berbeda dibanding Salak pondoh maupun Salak Bali. Salah satu keunikan Salak Condet, bentuknya lebih besar dan tebal daripada bijinya.

Salak Condet cukup tersohor dan jadi idola pejabat. Buah ini juga disebut-sebut wajib tersaji di meja Presiden. "Salak Condet rasanya lain, dulu ini Salak jadi sajian di Istana Presiden," ujar Iwan saat berbincang di Masjid As Solihin, Condet, Jakarta, Sabtu (20/08).

Soal rasa, Salak Condet tak kalah lezat dari Salak jenis lainnya. Rasanya asam manis. Daging buah yang agak besar menjadi kekhasan buah ini. Salak yang sudah tua, biasanya akan terasa lebih manis. "Salak Condet enak, rasanya laen. Manisnya lekat bener," tutur Iwan

karena kekhasan salah Condet, pada 1975 Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mengeluarkan keputusan gubernur untuk melindungi buah ini. Sayangnya, buah yang menjadi logo di badan bus Transjakarta ini mulai terancam punah.

Karena perawatan kurang baik, kini buah Salak Condet ukurannya semakin kecil. Tidak hanya itu, luas kebun Salak pun semakin menyempit tergerus pembangunan Jakarta. Dari sekitar 800 hektar wilayah cagar budaya Betawi, hanya tersisa sedikit saja lahan yang menjadi kebun Salak Condet.

"Pemprov kasih kebun Salak 3,4 hektar, masyarakat Condet sendiri tanam sekitar 5 hektar," katanya.
Previous
Next Post »

Deposit Monopoly